Singkil – 6 Juli 2025 | Sudah lebih dari lima tahun berlalu, tapi dana Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) Ladang Bisik, Kecamatan Kota Baharu, Aceh Singkil, sebesar Rp400 juta belum juga kembali ke kas desa. Dana yang semestinya diputar untuk usaha produktif warga itu justru mengalir ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas.
Warga mencium aroma penyimpangan. Mereka menengarai adanya “kong kali kong” antara Kepala Desa Ladang Bisik dan pihak pengelola BUMK. Dalam laporan yang dikirimkan ke Inspektorat Aceh Singkil pada 30 April 2025, masyarakat menyebutkan bahwa dana itu sejak tahun 2020 dipinjamkan kepada seorang pihak ketiga berinisial DW. Ironisnya, hingga saat ini, dana itu tak jelas keberadaannya. Dari pengakuan DW kepada warga, ia hanya mengembalikan Rp20 juta.
“Kalau dana yang dikucurkan Rp400 juta dan yang kembali cuma Rp20 juta, berarti ada yang tidak beres. Uang negara ini, bukan uang pribadi,” kata Sudirman, tokoh pemuda Ladang Bisik, ketika ditemui di Gunung Meriah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudirman bukan satu-satunya warga yang gusar. H. Syahputra, perwakilan warga lainnya, mengatakan mereka sudah berkali-kali menyurati lembaga pengawas dan aparat penegak hukum. Selain laporan ke Inspektorat, mereka juga mengirim pengaduan ke Polres Aceh Singkil dan bahkan membuat tembusan resmi kepada Bupati Aceh Singkil. “Kami hanya ingin kejelasan, dana desa ini harus kembali. Kalau tidak, masyarakat rugi besar,” ujar Syahputra.
Sikap Inspektorat pun dipertanyakan. Pada 4 Juni 2025, tim Irban dari Inspektorat Aceh Singkil yang terdiri dari Mufrin, Rusdi, dan sejumlah staf, sempat turun ke lapangan. Tapi sampai hari ini, tidak ada hasil audit yang diumumkan, bahkan sekadar pemberitahuan perkembangan pun tak disampaikan ke masyarakat. “Ada apa dengan Inspektorat? Diam atau sengaja membiarkan?” kata Bahri, tokoh masyarakat desa setempat, dengan nada geram.
Di tengah gelombang tuntutan transparansi, Pemerintah Desa Ladang Bisik masih menutup mulut. Upaya wartawan untuk mengonfirmasi Kepala Desa Ladang Bisik tidak membuahkan hasil. Ia tidak menjawab panggilan telepon dan pesan yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp juga tak dibalas.
Padahal, menurut ketentuan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendamping Lokal Desa, dana desa yang disalurkan ke BUMK tidak diperbolehkan digunakan sebagai pinjaman kepada pihak ketiga tanpa mekanisme kerja sama resmi. Apalagi, tidak ada dokumen kerja sama yang valid antara BUMK Ladang Bisik dan DW, sebagaimana dikuatkan oleh pengakuan warga yang telah menelusuri dokumen pertanggungjawaban.
“BUMK boleh bekerja sama dengan pihak ketiga, tapi bentuknya harus jelas: usaha bersama, bagi hasil, ada perjanjian tertulis, bukan peminjaman tanpa dasar,” ujar seorang akademisi hukum administrasi dari Universitas Malikussaleh yang enggan disebutkan namanya.
Ia menambahkan, praktik peminjaman dana desa kepada individu di luar struktur BUMK tanpa pengawasan melekat berpotensi masuk kategori penyalahgunaan wewenang dan dapat dijerat pasal korupsi. “Yang bertanggung jawab bukan hanya pengelola BUMK, tapi juga kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa,” tambahnya.
Situasi ini membuat warga Ladang Bisik frustrasi. Sejumlah tokoh mulai mempertimbangkan langkah hukum lanjutan. Mereka mendesak agar Kejaksaan Negeri Aceh Singkil atau bahkan Kejaksaan Tinggi Aceh turun tangan. “Kami minta kasus ini dibuka seterang-terangnya. Kalau perlu KPK masuk. Ini soal hak masyarakat kecil,” kata Syahputra.
“Kami percaya Pak Bupati akan menindaklanjuti bila melihat bahwa ini menyangkut hak masyarakat. Kalau memang tidak ada kongkalikong antara Kepala Desa dan Ketua BUMK, seharusnya dana itu bisa dipertanggungjawabkan dan memberi manfaat,” kata Syahputra kepada media pada Sabtu, 6 Juli 2025.
Bagi warga Ladang Bisik, dana desa bukan sekadar angka dalam APBKampong. Dana itu adalah harapan: untuk warung kecil yang bisa berkembang, untuk pupuk pertanian yang terjangkau, untuk koperasi desa yang kuat. Ketika dana itu hilang tanpa jejak, yang terkikis bukan hanya keuangan desa, tapi juga kepercayaan publik terhadap kepala desa dan aparatnya.
Masyarakat kini menanti, apakah aparat pengawas dan penegak hukum berani mengungkap kebenaran. Atau justru ikut tenggelam bersama uang yang diduga telah “ditelan bumi”. (TIM)